Surat dari Ombudsman Dikirim ke KLH, Petani Sawit Berbahagia

by -166 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Ombudsman RI telah mengirimkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk memberikan saran agar menunda batas penyerahan kelengkapan syarat perizinan bagi pengusaha sawit yang terindikasi menggunakan lahan ilegal di kawasan hutan, yang semestinya berakhir pada tanggal 2 November 2023. Petani Sawit Indonesia mengapresiasi surat tersebut dari Ombudsman RI kepada KLHK.

Kebijakan ini memiliki potensi maladministrasi, mengingat masih ada banyak masalah terkait status kawasan hutan. Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyarankan agar Menteri LHK menunda batas akhir ini dengan beberapa pertimbangan.

“Ombudsman menyarankan Menteri LHK mengeluarkan diskresi penundaan batas ini dengan pertimbangan bahwa penatagunaan kawasan hutan menjadi tanggung jawab Kementerian LHK yang sekaligus memberikan kepastian hak atas tanah badan usaha/masyarakat untuk dapat dinyatakan berada dalam kawasan hutan atau tidak,” ujar Yeka di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, pada Kamis (2/11/2023).

Pertimbangan kedua, Yeka mengatakan permintaan persyaratan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit kepada badan usaha/masyarakat dapat dilakukan setelah penetapan kawasan hutan selesai dilakukan.

Selanjutnya, Yeka menyebutkan bahwa apabila badan usaha/masyarakat tersebut dinyatakan melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, dengan adanya Penetapan Kawasan Hutan maka dapat dilanjutkan dengan proses melengkapi persyaratan perizinan di bidang kehutanan.

“Diskresi dapat dilakukan dengan alasan-alasan objektif, yaitu alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak dan rasional serta berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik,” tambah Yeka.

Yeka juga menambahkan bahwa petani sawit swadaya, terutama yang hanya memiliki lahan kurang dari 10 hektar, merasa kesulitan dalam memenuhi persyaratan administratif pengurusan legalitas usaha berdasarkan ketentuan UU Cipta Kerja. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian serius oleh pemerintah.

Yeka menyatakan bahwa proses penentuan tanggal batas akhir pada tanggal 2 November 2023 diambil dari tanggal diundang-undangkannya UU Cipta Kerja (UUCK) pada tahun 2020 yang mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2020. Kemudian dengan adanya Putusan MK tentang penundaan dan diubah dengan UUCK (2) yaitu UU Nomor 6 Tahun 2023.

Menurut Yeka, tanggal batas akhir seharusnya dimulai dari pemberlakuan UUCK Nomor 6 tahun 2023 tersebut. Ombudsman menegaskan bahwa pelaksanaan penatagunaan kawasan hutan harus menghormati hak masyarakat dan kepentingan nasional. Kementerian LHK perlu memperhatikan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan tetap menghormati hak masyarakat. Dalam hal ini, penatagunaan kawasan hutan perlu mempertimbangkan produk administratif yang berkaitan dengan hak atas tanah yang diterbitkan oleh Kementerian ATR/BPN dan Pemerintah Daerah.

Ombudsman RI berpendapat bahwa usaha sawit perlu mendapatkan dukungan, baik dari dalam negeri maupun internasional. “Beberapa tahun terakhir, usaha sawit mengalami tekanan akibat dampak Pandemi Covid-19, kebijakan subsidi, dan kebijakan ekspor. Hak atas tanah yang menjadi dasar usaha perkebunan sawit perlu diatur untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin keberlanjutan usaha,” tegas Yeka.

Dalam hal terjadi pengenaan sanksi denda, Yeka mengusulkan agar dilaksanakan dengan mekanisme yang meringankan untuk melindungi pelaku usaha sawit agar tidak mengalami kebangkrutan. Hal ini dapat memiliki dampak lebih lanjut terhadap perekonomian nasional, mengingat usaha sawit merupakan lapangan kerja yang cukup besar dan memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan.

Saran dan pendapat dari Ombudsman ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 huruf e dan huruf g Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, bahwa salah satu tugas Ombudsman adalah melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya. Selain itu, Ombudsman bertujuan untuk mencegah maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Ombudsman RI akan membuat Policy Report yang mendorong kepastian hak atas tanah sebagai dasar dalam usaha perkebunan sawit yang dapat mempengaruhi perdagangan sawit di Indonesia.

Respon dari Petani Sawit Indonesia terhadap surat ini sangat positif. “Terima kasih Ombudsman RI, sudah mengambil alih permasalahan kami yang tidak kunjung selesai ini,” kata Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat ME Manurung.

Para petani sawit merasakan banyak kesulitan saat ini, dan juga sedang dalam situasi sulit. “Apalagi ini tahun politik, seharusnya semua elemen masyarakat dan Kementerian menjaga kestabilan,” ujar Gulat.

Gulat menyampaikan permohonan kepada KLHK untuk mencari solusi tanpa menimbulkan masalah yang semakin rumit.

“Kami bukan tidak memahami tujuan baik dari UUCK ini, tetapi implementasinya membuat kami petani sawit menjadi putus asa dalam melihat masa depan kami dalam membangun ekonomi keluarga kami,” tambah Gulat.

“Semoga Pak Presiden Jokowi, di tengah kesibukannya, dapat mengambil alih permasalahan yang sudah berkepanjangan ini,” harap Gulat.

[Sumur: CNBC Indonesia]