Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah untuk menghilangkan tuntutan pidana terhadap pengemplang cukai yang telah membayar empat kali nilai denda tidak bisa diterapkan secara cuma-cuma. Ketentuan ini ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2023 tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Cukai Untuk Kepentingan Penerimaan Negara yang diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo.
Menurut Askolani, keputusan untuk memberikan ultimum remedium tersebut masih ditentukan oleh Kejaksaan Agung sehingga Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan hanya memberikan usulan dan bukan langsung menghentikan tuntutan. Ia juga menekankan bahwa kebijakan ini akan bersifat selektif dan memerlukan basis yang kuat.
Askolani juga menjelaskan bahwa kebijakan tersebut diterbitkan sebagai amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk mengutamakan potensi penerimaan negara sambil memberikan denda tinggi. Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai dapat dilakukan oleh pejabat setingkat menteri atau pejabat yang ditunjuk atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk.
Dalam proses penyidikan, tersangka juga dapat mengajukan penghentian penyidikan di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara. Selain itu, menteri atau pejabat yang ditunjuk juga melakukan penelitian permohonan untuk memastikan tindak pidana yang dilanggar dan besaran sanksi administrasi berupa denda yang harus dibayar.
Mayoritas pelanggaran di bidang cukai merupakan tindak pidana yang diselesaikan melalui proses penyidikan, namun belum memberikan efek jera bagi pelaku sehingga penerimaan negara dari pidana denda sangat kecil. Oleh karena itu, kebijakan ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan manfaat yang lebih besar dibandingkan sanksi pidana.