Saya sebagai seorang prajurit memiliki keyakinan bahwa jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik adalah dengan menghindari perang. Lawan harus dihormati dan komunikasi harus selalu terjaga. Hal ini saya pelajari dari pengalaman saya di Timor Timur, di mana saya belajar tentang seni perang gerilya dan anti-gerilya. Saya selalu berpegang pada prinsip bahwa tawanan tidak boleh disiksa dan dukungan rakyat sangat vital dalam memenangkan pertempuran. Selama beroperasi di Timor Timur, saya selalu menjaga hubungan baik dengan penduduk setempat dan berusaha merebut hati mereka, sesuai dengan prinsip delapan wajib TNI.
Pada suatu peristiwa di pegunungan Bibileo, saya berhasil menangkap seorang komandan gerilya yang terluka. Meskipun saya merasa pedih atas kehilangan komandan peleton saya, Siprianus Gebo, yang gugur dalam operasi itu, saya tetap memberikan perlakuan yang baik kepada lawan saya. Saya bertanya kepadanya apakah dia ingin hidup atau mati, dan jawabannya membuat saya kagum. Dia berkata bahwa dia siap untuk keduanya. Saya merasa bahwa dia adalah seorang pendekar yang harus saya hormati. Oleh karena itu, saya memerintahkan untuk mengirimnya ke rumah sakit untuk diobati, karena dia adalah seorang lawan yang tangguh.
Keseluruhan pengalaman saya mengajarkan bahwa dalam perang, prajurit harus memiliki empati terhadap lawan, dan harus selalu berusaha untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang tanpa kekerasan. Saya yakin bahwa pendekatan ini adalah yang terbaik dalam memimpin operasi tempur.