Resesi di Jepang dan Inggris Menyebabkan Kekhawatiran, Jokowi dan Sri Mulyani Ketar-Ketir

by -147 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Resesi yang melanda Jepang dan Inggris menjadi perhatian dunia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga meningkatkan kewaspadaan.

Menurut Jokowi, kondisi tersebut bisa jadi pertimbangan dalam pemerintah menetapkan asumsi ekonomi makro 2025 dan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

“Kita tau beberapa negara sudah masuk ke resesi seperti Jepang, Inggris yang baru saja masuk resesi itu sehingga antisipasi dalam menyusun target pertumbuhan juga harus mencerminkan kehati-hatian tapi optimisme dan kredibilitas harus tetap kita jaga lakukan penajaman fokus pemerintah pusat dan daerah dengan menyiapkan plan jika ada gejolak dan krisis,” papar Jokowi dalam pembukaan sidang kabinet di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (26/2/2024).

Dalam laporan terakhir, PDB Jepang terkontraksi 0,4% pada kuartal empat 2023 dan pada kuartal tiga 2023 juga mengalami kontraksi sebesar 3,3%.

Laporan PDB terbaru itu jauh meleset dari perkiraan pertumbuhan 1,4% dalam jajak pendapat para ekonom Reuters. Secara kuartalan (quarter to quarter/qtq), PDB turun 0,1%, dibandingkan dengan perkiraan kenaikan 0,3% dalam jajak pendapat Reuters.

Sementara itu, Inggris tergelincir ke dalam resesi setelah ekonomi mereka terkontraksi (quartal to quartal/qtq) pada kuartal III dengan -0,1% dan IV sebesar -0,3% 2023.

Hal yang senada juga menjadi perhatian Sri Mulyani. Perekonomian global masih lemah pada 2024, kendati inflasi telah termoderasi. Menurut Sri Mulyani, pelemahan ini dipicu oleh suku bunga yang melonjak cukup tinggi dalam 18 bulan terakhir. Walaupun ada sedikit harapan suku bunga mulai turun pada semester kedua.

“Tidak hanya itu, dari sisi fiskal, Sri Mulyani mengungkapkan banyak negara di dunia yang menggunakan anggarannya secara besar-besaran saat pandemi dan saat menghadapi inflasi serta kondisi suku bunga tinggi.

“Posisi tidak menguntungkan karena berbagai perekonomian global dan domestik negara dalam posisi lemah yang biasanya butuh intervensi dari fiskal dan moneter. Namun, space di berbagai negara sudah sangat terbatas. Inilah yang harus jadi perhatian kita, bahwa kita perlu menavigasi situasi yang sangat rentan dari sisi global,” tegasnya.

PMI manufaktur yang kontraksi atau angka indeksnya di bawah 50 adalah kawasan Eropa, termasuk Jepang, Prancis Italia, Inggris, Jepang Thailand, Malaysia, Turki, Kanada, dan Afrika Selatan.

“Ia mengatakan, hanya 22,7% negara yang disurvei PMI Manufaktur yang kondisinya telah mengalai pemulihan angka indeksnya, yakni di atas 50. Di antaranya Amerika Serikat, Korea Selatan, Vietnam, Australia, dan Brazil.

“Dengan demikian kita akan lihat kinerja APBN 2024 akan jadi salah satu bekal untuk menjalani 2024 yang kita harap tetap terjaga dengan baik kredibilitas kehati-hatian dan sustainabilitas APBN yang menjadi penjaga masyarakat kita ketika dunia dihadapi guncangan,” pungkasnya.

Artikel Selanjutnya:
Potret Terkini Jepang Terancam Resesi, Ekonomi Kontraksi

(mij/mij)