Jakarta, CNBC Indonesia- Bank Indonesia (BI) meyakini kondisi ekonomi Indonesia akan baik-baik saja walaupun nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS sudah menembus Rp 16.000/US$. BI menyatakan berbagai indikator ekonomi Indonesia saat ini jauh berbeda ketimbang pada krisis tahun 1998 ataupun pada saat krisis keuangan global 2008 terjadi.
“Dalam kondisi saat ini, orang-orang cenderung membandingkan kondisi 2008 dan 1998, ini ada indikator yang biasanya kita bantu untuk menunjukan,” kata Direktur Departemen kebijakan ekonomi dan moneter Juli Budi Winantya dalam diskusi di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Minggu, (28/4/2024).
Budi mengatakan indikator pertama adalah inflasi. Dia mengatakan pada 1998 inflasi Indonesia menembus 82,4%. Sementara pada 2008 inflasi mencapai 12,1%. Akan tetapi pada Maret 2024, tingkat inflasi masih dalam rentang target, yakni 3,05%.
Indikator kedua, kata dia, terlihat dari rentang depresiasi Rupiah. Pada 1998, Rupiah mengalami depresiasi hingga 197%. Pada 2008, depresiasi Rupiah mencapai 35%. Sementara pada 2024 ini, rentang depresiasi Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat hanya 5,07%.
“Ini tentunya tidak lepas dari apa yang ditempuh oleh Bank Indonesia sehingga potret indikator ini bisa terus terjaga,” kata Juli.
Indikator lainnya adalah cadangan devisa. Juli menyebut pada Maret 2024, cadangan devisa yang dimiliki BI mencapai US$ 140,4 miliar. Angka tersebut setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembiayaan utang luar negeri pemerintah.
Sementara pada 1998, Indonesia hanya memiliki cadangan devisa sebesar US$ 17,4 miliar dan pada 2008 cadangan devisa hanya US$ 50,2 miliar.
Begitupun Non-Performing Loan (NPL) atau kredit macet saat ini masih di bawah batas minimum 5%, yakni 2,35%. Sementara pada 1998, nilai NPL Indonesia mencapai 30% dan pada 2008 mencapai 3,8%.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Mantan Direktur Bank Dunia Ramal Pelemahan Rupiah Bisa Terus Berlanjut
(hsy/hsy)