Membayar Bunga dengan Besar Melebihi Anggaran Pendidikan

by -122 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Krisis utang sedang melanda dunia, termasuk negara-negara pasar berkembang atau emerging markets. Bahkan, masalah ini mendapatkan perhatian khusus dari Paus Fransiskus dalam Pertemuan Vatikan yang diselenggarakan tahun ini dan dihadiri oleh ekonom dan petinggi perbankan dunia.

Dalam pertemuan yang berjudul ‘Debt Crisis in the Global South’ pada 5 Juni lalu, Paus Fransiskus menyampaikan kepada para bankir dan ekonom bahwa negara-negara termiskin di dunia dipbebani oleh utang yang tidak bisa dikelola dan negara-negara kaya perlu melakukan lebih banyak untuk membantu.

Negara-negara berkembang menghadapi tekanan utang publik sebesar US$29 triliun. Lima belas negara dalam kategori itu menghabiskan lebih banyak uang untuk pembayaran bunga daripada untuk pendidikan, menurut laporan terbaru Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB. 46 negara di antaranya menghabiskan lebih banyak uang untuk pembayaran utang daripada untuk budget kesehatan.

Menurut laporan The New York Times, krisis utang merupakan masalah yang berulang dalam era perekonomian global modern. Namun, masalah utang yang terjadi saat ini merupakan yang terburuk sejauh ini. Apalagi, secara keseluruhan, utang pemerintah di seluruh dunia meningkat empat kali lipat dibandingkan tahun 2000.

Pemicunya bermula dari belanja pemerintah yang berlebihan atau salah urus, hingga fenomena masalah global yang tidak dapat dikendalikan oleh sebagian besar negara telah menyebabkan permasalahan utang semakin parah.

Diantaranya, Pandemi Covid-19 yang membuat roda bisnis berhenti dan pendapatan pekerja anjlok, sementara biaya kesehatan dan bantuan sosial meningkat. Konflik kekerasan di Ukraina dan negara lain ikut menyumbang pada kenaikan harga energi dan pangan. Bank sentral menaikkan suku bunga untuk menahan lonjakan inflasi. Pertumbuhan global juga melambat.

Apa yang disampaikan Paus Fransiskus sebenarnya sama dengan yang disampaikan Paus Yohanes Paulus II pada pertemuan yang sama 25 tahun lalu. Kedua Paus itu mengaitkan seruan mereka dengan apa yang mereka namakan sebagai Yobel (Jubilee) atau tahun suci. Yobel adalah perayaan yang berakar pada Alkitab dan berkaitan dengan periode ketika para budak dibebaskan dan hutang mereka diampuni.

Perayaan Yobel yang diadakan pada tahun 2000 dan dihadiri oleh koalisi yang terdiri dari para pemimpin agama, musisi, akademisi, gerakan evangelis konservatif, aktivis liberal, dan politisi, sebenarnya turut mengkampanyekan perlunya penghapusan utang untuk mengatasi krisis tersebut. Lebih dari 21 juta orang menandatangani petisi yang mendukung pengampunan utang. Hal ini pada akhirnya menghasilkan upaya global yang menghapuskan lebih dari US$100 miliar utang dari 35 negara miskin.

Paus Fransiskus memperbarui gagasan Kampanye Yobel untuk tahun 2025. Sebagai kardinal di Argentina pada tahun 2001 atau pada masa puncak keruntuhan keuangan negara tersebut, Paus Fransiskus telah melihat secara langsung penderitaan dan kerusuhan yang dapat disebabkan oleh krisis utang.

Beliau menyerukan transformasi sistem keuangan global selain program pengampunan utang. “Mari kita memikirkan arsitektur keuangan internasional baru yang berani dan kreatif,” katanya pekan lalu, yang dilansir oleh nytimes.com pada Sabtu (15/6/2024).

Pidato Paus Fransiskus dalam pertemuan Vatikan tersebut merupakan bentuk pengakuan bahwa permasalahan utang saat ini jauh lebih rumit dibandingkan dengan permasalahan utang sebelumnya.

Perbedaannya adalah utang tersebut sebagian besar dipegang oleh sekelompok besar bank dari negara-negara Barat dan organisasi pembangunan internasional yang sudah berusia puluhan tahun. Selain itu, saat ini, negara-negara yang berutang juga harus berurusan dengan ribuan pemberi pinjaman swasta dan negara kreditor seperti China, serta berbagai perjanjian pinjaman yang diatur oleh peraturan nasional yang berbeda.

Banyak ekonom dan pembuat kebijakan berpendapat bahwa mekanisme dan lembaga, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF), yang dibentuk 80 tahun lalu untuk menangani negara-negara yang mengalami kesulitan keuangan, tidak lagi mampu menjalankan fungsinya.

Indermit Gill, kepala ekonom di Bank Dunia, salah satu di antaranya, yang mengungkapkan pandangannya saat bank tersebut merilis laporan terbaru ekonomi globalnya dengan memperingatkan dampak utang yang membebani saat ini terjadi pada saat pertumbuhan ekonomi negara-negara dunia melambat.

Pengampunan utang “merupakan salah satu bagian terlemah dari arsitektur keuangan global,” kata Gill. Perubahan dalam struktur pinjaman menurutnya “memerlukan kerangka restrukturisasi utang yang baru yang saat ini belum kita miliki.”

Perpecahan antara China dan Amerika Serikat telah mempersulit penyelesaian krisis utang ini. Dan tidak ada lembaga internasional yang menjadi wasit atau memiliki wewenang atas semua pemberi pinjaman – yang setara dengan pengadilan kebangrutan – untuk menyelesaikan perselisihan. Pendanaan dari lembaga-lembaga seperti IMF juga tidak mampu menyeimbangi pertumbuhan ekonomi global atau beban utang.

Martin Guzmán, mantan menteri keuangan Argentina yang juga pernah merasakan dampak buruk dari krisis utang di negaranya, turut hadir dalam pertemuan Vatikan pekan lalu. Ia bahkan mengakui bahwa bantuan IMF kadang-kadang kontraproduktif, dengan menawarkan pinjaman dana talangan (bailout) yang sekarang bunganya tinggi, namun pada akhirnya meningkatkan beban utang suatu negara.

Guzmán juga mengkritik biaya tambahan yang dikenakan oleh IMF kepada debitur berisiko tinggi yang sedang mengalami kesulitan keuangan, sehingga menyedot dana berharga yang dapat digunakan untuk menyediakan layanan kesehatan dan membangun kembali perekonomian negara tersebut.

Lima negara peminjam terbesar seperti Ukraina, Mesir, Argentina, Ekuador, dan Pakistan membayar biaya tambahan sebesar US$2 miliar tahun lalu, menurut Center for Economic and Policy Research. Rata-rata, biaya tambahan akhirnya meningkatkan biaya pinjaman untuk semua negara yang terkena dampak sebesar hampir 50%.

Saat ini, prospek negara-negara yang terjerat utang sangat suram mengingat pertumbuhan ekonomi mereka yang melambat. Negara-negara berkembang tidak memiliki sumber pendanaan untuk mendukung pendidikan, infrastruktur, teknologi, dan layanan kesehatan. Menurut IMF, sekitar 60% negara berpendapatan rendah berada dalam atau berisiko tinggi mengalami kesulitan utang.

Di saat yang sama, diperlukan triliunan dolar tambahan untuk melindungi negara-negara rentan ini dari perubahan iklim ekstrem dan memungkinkan mereka mencapai tujuan iklim internasional.

Setelah pulang dari Pertemuan Vatikan, Joseph Stiglitz, mantan kepala ekonom di Bank Dunia, mengatakan bahwa selama kampanye utang Jubilee tahun 2000, “ada optimisme bahwa kita telah belajar,” dan bahwa program pengampunan utang akan “menyelesaikan masalah di masa depan.”

Namun, yang terjadi sekarang adalah bahwa, kata dia, “itu jelas belum terjadi,” hingga saat ini. Malah, “masalahnya menjadi jauh lebih buruk daripada yang kita bayangkan 25 tahun lalu.”

(fsdfs/fsdfs)