GRAND GENERAL TNI (RET.) H. M. SUHARTO

by -113 Views

Pak Harto adalah seorang pekerja keras, sangat disiplin, dan teliti. Saya menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi di pagi hari. Setiap hari dia tiba di kantor tepat pukul 08:00 pagi. Ciri khasnya adalah tulisan rapi dan ingatan kuat, yang juga dikenal sebagai ingatan fotografis. Dia juga sangat pandai dengan angka. Dia juga seorang pembaca yang rajin. Oleh karena itu, Pak Harto sangat mendorong orang untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan ke luar negeri, meskipun dia sendiri tidak pernah berpendidikan di luar negeri. Dia selalu tersenyum. Dia jarang marah atau jarang terlihat marah. Ketika dia marah, dia akan diam. Dan dia tidak suka berbicara dengan orang yang marah. Itulah beberapa kenangan saya tentang Pak Harto. Saya menjadi menantu Pak Harto pada tahun 1983. Pada saat itu, saya adalah seorang kapten dan telah melakukan operasi di Timor Timur dua kali. Yang pertama pada tahun 1976 ketika saya menjadi Komandan Peleton KOPASSANDHA Grup 1 (sekarang KOPASSUS) dengan pangkat Letnan Dua. Saya bergabung dengan tim Nanggala 10 yang dipimpin oleh Mayor Infanteri Yunus Yosfiah. Yang kedua pada tahun 1978, saat saya menjadi Komandan Kompi Parakomando dengan sandi Chandraca 8. Pasukanku saat itu adalah pasukan serbu yang langsung di bawah pimpinan komandan sektor. Pertama, saya di bawah Komandan Sektor Timur Kolonel Infanteri R.K. Sembiring Meliala. Kemudian saya di bawah Komandan Sektor Pusat Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk. Pada saat itu, Kolonel Infanteri Sembiring adalah Komandan Resimen Tempur 18 (RTP 18) dengan Brigade Infanteri KOSTRAD Linud 18 sebagai intinya. Sementara Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk adalah Komandan Resimen Tempur 6 (RTP 6), dengan Brigade Infanteri KOSTRAD 6 sebagai intinya. Pak Harto adalah seorang pekerja keras, sangat disiplin, tepat waktu, dan teliti. Saya beruntung bisa menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi di pagi hari. Dia tiba di kantor pada pukul 08:00 pagi. Pukul 01:00 siang, dia akan pulang ke rumah untuk makan siang. Di sore hari, dia bermain golf tiga kali seminggu. Sedangkan pada pukul 19:00 dari Senin hingga Jumat, dia menerima tamu. Dia makan malam pada pukul 21:00. Kemudian pada pukul 21:35, setelah siaran berita Dunia Dalam Berita (World News) di TVRI selesai, dia masuk ke kamarnya. Ruang belajarnya sangat kecil. Meja juga sangat kecil. Memang, jika dibandingkan dengan rumah-rumah saat ini, bahkan rumah saya sendiri, rumahnya relatif lebih kecil. Kamar tidur tidak berdampingan. Itu sebabnya ruang belajarnya sangat kecil. Setiap malam, akan ada tumpukan map di mejanya yang bisa mencapai 40-50 sentimeter tingginya. Saya dengar dari ajudannya bahwa setidaknya ada 40 map dan surat yang dibacanya dan ditandatangani setiap malam dari Minggu hingga Jumat. Hanya pada Sabtu malam kita tidak akan menemukannya di meja kerjanya. Saya sering melihatnya bekerja hingga pukul 01:00 atau bahkan 02:00 pagi. Sementara itu, dia akan bangun pada pukul 04:30 pagi atau pukul 05:00 paling lambat. Kadang-kadang dia hanya mendapatkan tidur 3-4 jam. Ini berlangsung selama berdekade-dekade. Kita hanya bisa membayangkan seberapa rajin dan telitinya dia bekerja. Kualitas khasnya yang lain adalah tulisannya yang rapi dan ingatan fotografinya. Dia juga sangat pandai dengan angka. Pada tahun 1985, ketika saya baru saja dilantik sebagai Komandan Batalyon Infanteri 328/KOSTRAD, saya pergi menemui dia. Dia kemudian menceritakan kepada saya dengan panjang lebar dan detail pengalamannya dalam membentuk, merekrut, melatih, dan membangun sebuah batalyon tempur. Dia menceritakan pengalaman-pengalamannya sebagai Pemimpin Regu, Komandan Peleton, Komandan Kompi, Perwira Operasi Batalyon, dan banyak lagi. Dia berbagi banyak teknik dan praktik praktis serta masalah-masalah kecil. Dia bahkan bisa mengingat tingkat pendidikan setiap bawahannya yang dulu. Saya terkagum mendengarkan dia. Pada saat itu, sudah 17 tahun sejak dia meninggalkan TNI dan 35 tahun setelah tugas-tugasnya dalam Perang Kemerdekaan. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana seorang Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan yang mengendalikan agenda pengembangan nasional mulai dari pestisida, pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat terbang, pabrik kereta api hingga masalah politik luar negeri, dan yang tidak pernah memimpin batalionnya dalam beberapa dekade, masih dapat dengan jelas mengingat pembentukan, rekrutmen, dan pelatihan unit TNI di level regu, peleton, kompi, dan batalyon. Saya menerapkan pelajaran yang dia bagikan kepada saya ketika saya menjadi Komandan Batalyon 328. Hal itu membuat Batalyon 328 sangat andal dan diakui oleh banyak orang sebagai salah satu batalyon terbaik selama bertahun-tahun. Ciri khas lainnya dari Pak Harto adalah bahwa dia sangat memahami filsafat Jawa dan sejarah Nusantara. Pak Harto secara luas mengartikulasikan kepemimpinannya dengan ajaran-ajaran kuno dan filsafat Jawa. Hal ini wajar karena seluruh pendidikannya berlangsung di Indonesia, di kampung halamannya di Desa Kemusuk, Yogyakarta. Kebanyakan bacaannya adalah dari para sarjana Jawa dari abad-abad terdahulu. Filsafat yang paling sering dia ajarkan adalah ojo dumeh, ojo lali, ojo ngoyo, ojo adigang, adigung, adiguna; tambahan ojo kagetan, ojo gumunan, dan sing becik ketitik sing olo ketoro. Buku yang dia terbitkan, Butir-Butir Budaya Jawa, sangat berguna. Buku ini adalah kumpulan ajaran, nasehat, dan pepatah. Buku ini sangat penting untuk memahami psikologi Indonesia dan memahami latar belakang budaya Indonesia karena, tentu saja, budaya Jawa sangat mempengaruhi pandangan Indonesia. Ajaran-ajaran ini bukan hanya sekadar slogan. Bagi banyak orang, itu menjadi panduan untuk hidup sukses, panduan untuk kehidupan yang bahagia di dunia ini. Itu juga menjadi panduan yang sangat praktis, dan sebenarnya, menurut pendapat saya, menjadi suara kebijaksanaan yang diwariskan selama berabad-abad. Oleh karena itu, bagi mereka yang mengikuti ajaran tersebut memanfaatkan kebijaksanaan pendahulu kita, leluhur kita, dan orang tua kita. Saya ingin menceritakan satu kesempatan ketika Batalyon 328 yang saya pimpin diperintahkan untuk melakukan operasi di Timor Timur. Malam sebelum berangkat, saya dipanggil oleh Pak Harto ke kediamannya di Jalan Cendana. Saya memberitahu bawahan-bawahan saya bahwa Pak Harto memanggil saya. Mereka senang. Hal itu telah menjadi tradisi bahwa ketika Panglima memanggil seseorang sebelum mereka melakukan misi, Pak Harto akan memberikan sangu atau bantuan finansial khusus. Dana ini bisa digunakan untuk memperkuat logistik, sehingga mengurangi beban para komandan. Saya tiba di Cendana sebelum pukul 8:30 malam. Setelah menerima tamu, dia bertemu saya dan bertanya apakah benar saya akan melakukan operasi esok hari. Saya menjawab dengan positif. Kemudian dia memberi tahu saya, ‘Saya hanya memiliki tiga nasihat untukmu, Bowo. Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Simpan dekat di hatimu!’ Setelah saya menyatakan bahwa saya siap, Pak Harto dengan lembut memegang kedua tangannya di atas kepalaku sebagai tanda berkat, seperti yang selalu dia lakukan kepada anak-anaknya, cucunya, dan orang-orang yang dicintainya, dan membiarkan saya pergi. Setelah kembali ke batalyon di Cilodong, semua perwira menunggu di ruang operasi, yang kami sebut ruang Yudha, ruang Perang. Mereka menunggu kabar baik dari kediaman Pak Harto. Saya memberi tahu mereka bahwa saya hanya bertemu Pak Harto selama lima menit. Dalam pertemuan singkat itu, Pak Harto meninggalkan tiga pesan: Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Saya juga memberitahu mereka bahwa, dalam waktu singkat, saya juga terkejut dan agak kecewa. Karena alih-alih menerima dana, saya hanya diberi tiga nasihat. Namun, selama perjalanan satu jam dari Cendana ke Cilodong, saya merenungkan tentang tiga nasihat yang diberikan oleh seorang Komandan yang tumbuh dalam operasi pertempuran. Pak Harto adalah inisiator dan pelaksana Serangan Umum 1 Maret yang berhasil merebut kembali kendali Yogyakarta selama enam jam pada akhir 1948. Bahkan, saat itu, militer Belanda sangat kuat di Jawa Tengah. Dia juga terlibat dalam berbagai operasi penumpasan di Sulawesi, seperti pemberontakan Andi Azis. Dia juga memimpin pembebasan Irian Barat sebagai Panglima Operasi Mandala. Dia juga merupakan tokoh kunci dalam menumpas pemberontakan komunis G30S/PKI pada tahun 1965. Sebagai Panglima dengan pengalaman pertempuran yang luas, nasihat Pak Harto tentu harus memiliki makna yang sangat mendalam. Pertama, ojo…

Source link