LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [PRESIDENT SUKARNO]

by -140 Views

Dalam sejarah Indonesia, beberapa ksatria telah menunjukkan keberanian dan ketahanan mereka. Ksatria yang berani melawan penjajah asing daripada tunduk atau tunduk pada kekuasaan asing yang congkak dan sombong. Salah satu ksatria yang menjadi panutan saya adalah Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno. Beliau adalah seorang intelektual hebat, orator, dan pengorganisir. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari Presiden pertama Indonesia, Presiden Sukarno. Pelajaran yang saya pelajari darinya bisa menjadi sebuah buku tersendiri. Bung Karno lahir di Surabaya pada tahun 1901. Pada tahun 1927, di usia muda 26 tahun, beliau mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Karena tulisan-tulisannya yang berpengaruh dalam membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia, pada tahun 1929, Bung Karno ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di penjara Banceuy, Bandung. Setahun kemudian, beliau dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari penjara, Sukarno merumuskan pidato fenomenalnya, Indonesia Menggugat. Sebuah pidato sejarah yang saya anggap masih sangat relevan hingga hari ini. Dari tahun 1938 hingga 1942, Bung Karno diasingkan ke Ende. Belanda, karena keadaan saat itu, hanya membebaskannya selama pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Selama masa tersebut, beliau aktif bekerja untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, merumuskan Pancasila dan Konstitusi 1945, serta membangun fondasi pemerintahan Indonesia yang baru. Dalam buku ini, saya ingin menarik perhatian Anda pada beberapa peristiwa sejarah yang sangat berpengaruh terhadap jalannya negara dan bangsa kita. Yang pertama adalah keberanian Presiden Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Seperti yang mudah dibayangkan, saat itu negara kita bisa dikatakan tidak memiliki apa-apa. Namun Presiden Sukarno berani mengumpulkan massa di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta dan membacakan pidato berikut: Saudara-saudara, rekan-rekan sebangsa! Saya mengumpulkan Anda di sini untuk menjadi saksi salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah kita. Selama puluhan tahun, kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan, selama ratusan tahun! Banyak gerakan kita untuk merebut kemerdekaan telah mengalami kemajuan dan kemunduran, tetapi semangat kita tetap pada tujuan utama kita. Juga, selama penjajahan Jepang, upaya kita untuk mencapai kemerdekaan tidak pernah lekang. Mungkin terlihat bahwa kita bergantung pada Jepang, tetapi pada hakikatnya, kita bergantung pada tekad, pada kekuatan kita. Sekarang saatnya kita benar-benar mengendalikan nasib bangsa kita, tanah air kita. Hanya bangsa yang berani mengendalikan nasibnya sendiri yang akan mampu berdiri tegak dan bangga. Jadi, [hari ini], kita telah membahas dengan pemimpin-pemimpin Indonesia dari seluruh Indonesia. Kita telah mencapai kata sepakat bahwa sekarang saatnya menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara! Maka dengan mantap kami nyatakan: Seseorang dapat membayangkan keadaan hati Bung Karno saat itu. Beliau dan Bung Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia. Deklarasi ini mengakibatkan pemberontakan terhadap Pasukan Sekutu, yang merupakan pemenang Perang Dunia II dan memiliki senjata atom. Saat itu kita tidak memiliki apa-apa. Senjata yang kita miliki adalah sisa-sisa arsenal Belanda dan Jepang yang berhasil kita rebut. Peristiwa kedua yang sangat penting bagi pembentukan Indonesia, dan bagi saya, adalah pidato yang dilakukan oleh Presiden Sukarno pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Saat itu, Presiden Sukarno berada di bawah tekanan besar untuk menciptakan dasar ideologis bagi negara Indonesia yang baru merdeka. Beberapa mendorong untuk dasar ideologis berdasarkan pada agama atau kelompok etnis tertentu. Namun beliau dengan tenang memutuskan, di hadapan rapat, bahwa Indonesia akan didirikan berdasarkan Pancasila. Presiden Sukarno berkata: Kita ingin menciptakan negara untuk semua orang. Bukan untuk satu orang, bukan untuk satu kelompok, bukan untuk kaum bangsawan, bukan untuk orang kaya – tetapi untuk semua orang! Republik Indonesia tidak dimiliki oleh satu kelompok, juga tidak dimiliki oleh agama tertentu atau kelompok etnis atau budaya tertentu, tetapi dimiliki oleh kita semua dari Sabang sampai Merauke. Dalam buku ini, saya juga ingin membahas Bung Karno dari sudut pandang Profesor Soemitro, ayah saya. Pak Soemitro sangat dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu lawan politik Bung Karno dalam jangka waktu yang lama. Pak Soemitro bahkan turut serta dalam ‘pemberontakan’ PRRI/Permesta terhadap pemerintahan Presiden Sukarno. Karena saya adalah anak dari Profesor Soemitro, beberapa orang mungkin mengatakan bahwa saya berasal dari keluarga anti-Sukarno. Namun, yang menarik, Pak Soemitro selalu mengingatkan kami, anak-anaknya, bahwa dia menentang Bung Karno karena perbedaan pandangan politik, terutama tentang komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia pernah berkata, ‘Namun, anak-anakku, kalian harus ingat bahwa saya tidak pernah mengatakan bahwa Bung Karno bukan pemimpin yang hebat. Bung Karno adalah salah satu pemimpin yang luar biasa yang pernah dimiliki Indonesia. Bung Karno menyatukan ratusan suku, berbagai kelompok agama, faksi politik, dan adat kebiasaan untuk satu tujuan: Indonesia Merdeka.’ Pak Soemitro pernah memberitahu kami bahwa jika tidak karena Bung Karno, kita mungkin tidak pernah mencapai kemerdekaan Indonesia yang bersatu tetapi malah berakhir dengan puluhan republik yang berbeda. Dan memang itu yang diinginkan oleh Belanda: melihat Indonesia terpecah menjadi puluhan negara yang berbeda. Demikian pula yang diharapkan oleh beberapa negara lain di sekitar kita. Itu juga yang dikatakan oleh almarhum ayah saya kepadaku. Kemudian, Pak Mitro menceritakan kepada saya bagaimana dia, di awal tahun 1950-an, mencoba meyakinkan Bung Karno untuk tidak bekerjasama dengan PKI. Hingga suatu hari, Bung Karno kesal dengan Pak Mitro dan memperingatinya. Bung Karno berkata kepada Pak Mitro, ‘Hey Mitro, ketika kamu masih mengenakan celana pendek, aku sudah masuk dan keluar dari penjara. Ingat itu. Kamu hanya urus ekonomi dan biarkan urusan politik pada saya. Aku lebih memahami politik Indonesia daripada kamu.’ Pak Mitro menceritakan kepadaku bahwa Sukarno benar. Ketika Bung Karno pertama kali dipenjara, Pak Mitro masih berusia 15 tahun. Tetapi, menurut Pak Mitro, ‘Aku tidak memiliki niat jahat. Aku hanya ingin Bung Karno tidak terjebak. Aku yakin suatu hari nanti PKI akan mengkhianati Bung Karno.’ Dalam perjalanan hubungannya dengan Bung Karno, Pak Mitro juga menceritakan kepada saya bahwa sebenarnya, pilihan pertama Bung Karno sebagai WAPERDAM 1 (Wakil Perdana Menteri Pertama) suatu saat adalah dia, bukan Dokter Subandrio. Tetapi ketika ditawari jabatan itu, ia sekali lagi mendesak Bung Karno untuk tidak bekerjasama dengan PKI. Bung Karno marah dengan ketegasan Pak Mitro, dan beliau memilih Dokter Subandrio sebagai gantinya. Ketika Pak Mitro menceritakan kisah itu padaku, aku berkata padanya, ‘Pak, aku pikir kamu melakukan kesalahan. Kamu seharusnya tidak meninggalkan Bung Karno. Jika kamu berada di sisinya, kamu mungkin bisa mencegah manuver PKI.’ Pak Mitro memikirkan apa yang kukatakan untuk waktu yang cukup lama sebelum ia mengaku, ‘Kupikir kau benar, Bowo. Seharusnya aku tidak pernah meninggalkan Bung Karno.’ Beberapa tahun kemudian, aku mendengar dari adikku Hashim Djojohadikusumo bahwa sekitar sebulan sebelum Pak Mitro meninggal dunia, ketika ia terbaring sakit di tempat tidurnya, Pak Hashim menanyakan kepada Pak Mitro, ‘Pak, apakah ada sesuatu yang membuatmu menyesal dalam hidupmu? Apa yang paling kamu sesali dalam hidupmu?’ Jawaban Pak Mitro adalah, ‘Ada satu hal yang membuatku menyesal paling banyak: aku meninggalkan Bung Karno. Seharusnya aku tetap di sisinya.’ Itulah pelajaran-pelajaran yang saya catat. Dan itu adalah norma di kalangan Generasi ’45 mereka memiliki pandangan yang berbeda, tetapi mereka saling menghormati. Juga, saya belajar bahwa kita harus selalu fleksibel dan sebaiknya tidak terlalu kaku dalam sikap kita karena, pada suatu saat, sikap kita mungkin menjadi kurang relevan ketika dilihat dari konteks dan era yang berbeda. Ada satu hal lagi yang membuat saya terkesan. Saya ingat saat Pak Mitro membawaku ke Istana Merdeka ketika aku berusia lima tahun. Saya melihat Bung Karno berdiri di atas tangga. Beliau tinggi, berotot, karismatik, dengan senyum lebar di wajahnya. Suaranya dalam, bergemuruh. Saya ingat bahwa beliau mengangkat saya seperti akan dilempar ke udara. Lalu beliau menurunkan saya kembali ke tanah. Saya tidak ingat dengan pasti …

Source link