Mayoritas warga Tionghoa di Indonesia sekarang cenderung menggunakan nama Indonesia dengan nuansa Jawa, khususnya generasi muda kelahiran setelah tahun 2000. Meskipun pada kenyataannya, mereka memiliki nama Tionghoa yang otentik seperti para tokoh sukses seperti Sudono Salim dan Djoko Susanto. Perubahan nama ini dipicu oleh kebijakan rasialis yang diterapkan pemerintah Indonesia di era Presiden Soeharto. Pada masa itu, orang Tionghoa diharuskan untuk melakukan asimilasi dan mengganti nama mereka agar dianggap sebagai bagian dari warga Indonesia. Namun, aturan ini juga berdampak pada larangan penggunaan bahasa Mandarin dan perayaan Tahun Baru Imlek. Keberanian para pengusaha Tionghoa untuk berbisnis di tengah ketegangan politik pada masa Orde Baru justru menjadi salah satu kunci pertumbuhan ekonomi yang pesat. Meski sempat menjadi korban kerusuhan pada tahun 1998, politik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa mulai berakhir setelah runtuhnya Orde Baru. Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sosok yang mencabut sejumlah aturan diskriminatif tersebut, memungkinkan orang Tionghoa untuk mengekspresikan kembali identitas dan budaya mereka. Meski demikian, diskriminasi tersebut masih meninggalkan bekas yang sulit dihapuskan sepenuhnya.
“Penyebab Warga Tionghoa RI Tak Pakai Nama Asli”
