Negara terkaya di Eropa, Jerman, menghadapi ancaman resesi yang disebabkan oleh pemberlakuan tarif oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Menurut Presiden bank sentral Jerman, Joachim Nagel, resesi tersebut diprediksi akan terjadi dalam tahun ini. Hal ini diakibatkan oleh perombakan kebijakan fiskal yang tengah dilakukan Jerman, yang mengalami kontraksi PDB tahunan negatif sebesar 0,2% di 2024 dan 0,3% di 2023.
Dampak dari pandemi COVID-19 dan krisis energi yang diakibatkan oleh sanksi barat terhadap Rusia juga turut menjadi penyebab resesi yang dihadapi Jerman. Jerman sangat bergantung pada migas yang diekspor dari Rusia untuk industri manufaktur dan rumah tangganya. Sementara itu, tarif impor yang diberlakukan oleh Trump terhadap baja dan aluminium Jerman, serta balasan tarif dari Uni Eropa, semakin memperparah kondisi ekonomi Jerman.
Jerman sebagai eksportir terbesar ketiga di dunia dan salah satu importir utama barang-barangnya dari AS, tentu sangat rentan terhadap tarif yang diberlakukan. Sektor otomotif dan permesinannya dapat tergerus akibat kebijakan tarif tersebut. Di tengah ketidakpastian hubungan internasional, khususnya dengan Rusia dan Ukraina, Jerman berupaya untuk melonggarkan anggaran dan menyediakan pengeluaran pertahanan tambahan.
Meskipun Jerman pernah mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi hingga 8,7%, namun resesi yang terjadi mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Berdasarkan data Trading Economics, ekonomi Jerman pernah tumbuh sebesar -8,9% dan merupakan hal yang memprihatinkan. Dengan kondisi tersebut, Jerman harus mencari solusi untuk mengatasi resesi yang terjadi dan mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi tantangan ekonomi global yang semakin kompleks.