Pemberontakan terhadap junta militer Myanmar sedang berlangsung. Secara diam-diam, tentara etnis yang secara kolektif disebut Aliansi Tiga Persaudaraan sedang melakukan serangan Anti-junta.
Tentara etnis Aliansi Tiga Persaudaraan sedang menjalankan Operasi 1027, sebuah serangan besar yang diluncurkan pada Oktober dan telah menjadi ancaman paling signifikan bagi rezim tersebut sejak mereka merebut kekuasaan melalui kudeta tahun 2021 silam.
“Kami sudah bersiap untuk operasi tersebut ketika kami bertemu dengan mereka,” kata Kyaw Naing, juru bicara Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA), sebuah kelompok yang sebagian besar beretnis Tionghoa dan merupakan bagian dari koalisi pemberontak.
Menurut laporan Reuters, yang mewawancarai selusin pejabat perlawanan yang mengetahui operasi tersebut dan analis dan orang lain yang mengetahui masalah tersebut, yang beberapa tanpa menyebut nama, mengatakan serangan masih berlangsung.
Mereka mengungkapkan unsur-unsur perencanaan yang sebelumnya tidak dilaporkan, termasuk rincian pembentukan brigade terpadu di medan perang dan tingkat ketidaksabaran China terhadap junta, yang menurut beberapa analis semakin menguatkan milisi.
Operasi 1027, yang namanya diambil berdasarkan tanggal dimulainya pada akhir Oktober, telah menghasilkan kemenangan nasional bagi aliansi tersebut dan kelompok lain yang memerangi militer, yang berhasil menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan peraih Nobel Aung San Suu Kyi pada Februari 2021.
Junta menindak protes setelah kudeta, sehingga memicu pemberontakan akar rumput dan memicu kembali konflik dengan beberapa kelompok etnis.
Militer, yang dikenal sebagai Tatmadaw, telah memerintah Myanmar selama lima dari enam dekade terakhir, dan tentaranya ditakuti karena kebrutalan dan taktik bumi hangus yang mereka gunakan. Tentara mengatakan tindakan keras diperlukan untuk melawan kelompok yang mereka anggap “teroris”.
Menurut empat pejabat pemberontak, dua anggota Aliansi Tiga Persaudaraan bersama lima kelompok bersenjata lainnya membentuk Brigade 611 baru pada awal tahun 2022. Menurut salah satu dari mereka, kekuatan formasi ini berjumlah “ribuan”.
Hal ini merupakan wujud kerja sama yang belum pernah terjadi sebelumnya di antara kelompok-kelompok yang berasal dari berbagai wilayah di Myanmar, berbicara dalam bahasa yang berbeda-beda, dan secara tradisional mempunyai prioritas yang berbeda-beda.
Data ini berdasarkan laporan pada bulan November dari US Institute of Peace (USIP), sebuah lembaga pemikir yang berbasis di Washington yang fokusmengenai pencegahan dan resolusi konflik tersebut.
Menurut dua analis, operasi tersebut terjadi di tengah meningkatnya kemarahan di Beijing terhadap junta atas merajalelanya kejahatan di perbatasan, yang menciptakan kondisi yang mendukung serangan kilat tersebut.
China, sekutu utama junta yang juga memiliki hubungan dekat dengan beberapa milisi etnis Tiongkok di wilayah perbatasan, merasa gusar dengan ketidakmampuan Myanmar menutup pusat penipuan online di sepanjang perbatasan yang telah menjadi momok di Asia Tenggara.
Pada Oktober, menurut perkiraan USIP, lebih dari 20.000 orang, sebagian besar warga China, ditahan di lebih dari 100 kompleks di Myanmar utara, tempat para pekerja menipu orang asing melalui internet.
Pusat-pusat tersebut telah menjadi tantangan keamanan publik yang besar bagi China. Para pejabat China menyampaikan ultimatum di Beijing pada September ini kepada rekan-rekan mereka di Myanmar: hilangkan kompleks tersebut atau China akan melakukannya.
Banyak pusat penipuan yang terjebak dalam pertempuran baru-baru ini, sehingga banyak warga negara asing yang terjebak dapat melarikan diri.
Junta Myanmar, serta Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keamanan Publik China belum buka suara terkait hal ini.