Indonesia Masih Membutuhkan Investasi Asing untuk Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi

by -142 Views

Indonesia ternyata tidak mampu berdiri di kaki sendiri untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 6% sampai 7% demi menapaki target menjadi negara maju di 2045. Investasi asing masih dibutuhkan guna membuka peluang pertumbuhan lebih tinggi.

Mantan Menteri Keuangan yang juga merupakan ekonom senior Indonesia Chatib Basri jika kita ingin tumbuh 6 sampai dengan 7 persen, maka kita membutuhkan investasi terhadap PDB antara 41% sampai dengan 47%. Jika diterjemahkan ke dalam PDB harga berlaku, maka nilainya adalah Rp 19.500 triliun. “(Artinya) Kita membutuhkan tambahan investasi sebesar Rp 780 triliun jika ingin tumbuh 6%, atau Rp 1.950 triliun jika ingin tumbuh 7%,” tegas Chatib.

Dengan kebutuhan investasi yang besar antara Rp 780 triliun – Rp 1.950 triliun untuk menaikkan 1%-2% pertumbuhan ekonomi sebelum 2045, Chatib menyatakan Indonesia juga dihadapkan dengan rendahnya tabungan domestik bruto terhadap PDB. Persoalannya, rasio dari tabungan domestik bruto terhadap PDB Indonesia itu hanya mencapai 37%. “Di sini ada gap di mana tabungan kita, tabungan domestik kita lebih kecil dari kadar kebutuhan pembiayaan investasi,” ucapnya.

Mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia membutuhkan aliran dana investasi asing, dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI). Bukan sekedar investasi portofolio atau ekuitas yang sifatnya volatil. Jika FDI bisa ditarik, maka lapangan kerja dan serapan tenaga kerja bisa tumbuh signifikan. Pada akhirnya, hal ini akan mendongkrak ekonomi untuk tumbuh.

Tahun ini, target realisasi investasi dipatok sebesar Rp 1.400 triliun dan meningkat menjadi Rp 1.650 triliun pada 2024. Target ini tercatat lebih tinggi dari Rencana Strategis (Renstra) BKPM 2020-2024. Dalam Renstra yang disusun tiap lima tahunan oleh Kementerian Investasi/BKPM, target investasi 2023 hanya sebesar Rp 1.099,8 triliun, dan pada 2024 menjadi Rp 1.239,3 triliun. Target yang tinggi ini ternyata diikuti oleh tantangan yang besar.

Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan memburuknya kondisi perekonomian global yang tentu juga mempengaruhi sentimen investor. Permasalahan yang mengganggu arus investasi khususnya FDI itu kata Bahlil mulai dari Perang Ukraina dan Rusia yang belum berakhir, ditambah perpecahan ketegangan geopolitik di Timur Tengah, antara Israel dan Palestina. Di sisi lain, Indonesia betul-betul memasuki tahun politik pada 2024. “Apalagi di negara kita, di domestik, terjadi Pemilu, yang Pemilu ini juga keunikan dan punya problem spesifik tersendiri. Sekarang ada 3 calon,” ucap Bahlil.

Bahlil pun belum mau mengungkapkan strategi apa yang akan ditempuh untuk mendulang investasi di tahun politik dan suramnya prospek ekonomi global. Ia hanya mengharapkan tensi politik tidak terlalu panas supaya kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia tetap terjaga. “Makanya tahun depan kita lagi merancang. Tapi feeling saya selama politik kita tidak terlalu panas, begini-begini terus ya, hangat-hangat, Insyaallah kita dapat melalui dengan baik,” tegasnya.

Negara Favorit
Direktur Kerja Sama Regional dan Multilateral Kementerian Investasi/BKPM Fajar Usman mengungkapkan, Kementerian Investasi optimistis kinerja penanaman modal Indonesia juga relatif baik ketimbang negara lain.

“Keunggulan Indonesia salah satunya termasuk sebagai negara tujuan foreign direct investment (FDI) global, dan masuk dalam 20 negara teratas,” kata Direktur Kerja Sama Regional dan Multilateral Kementerian Investasi Fajar Usman pada sesi panel diskusi dengan tema Investing in Indonesia: Strengthening The Legal Regime and Infrastructure to Support The Business Environment, and to Ensure Legal Certainty in the Settlement of Disputes yang merupakan rangkaian kegiatan Asian-African Legal Consultative Organization (AALCO) ke-61 di Bali, Selasa (17/10).

Selain itu, RI juga tercatat sebagai negara dengan nilai kerangka investasi yang baik. Berdasarkan data dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (Unctad), skor kerangka fasilitas investasi RI mencapai 18. Angka tersebut menempatkan RI berada di peringkat ke dua dan setara dengan Thailand. Sebagai perbandingan, Malaysia dan Singapura sanggup mereguk skor 19 dan di peringkat pertama.

“Kita masih berada di bawah Singapura dan Malaysia terkait dengan kerangka fasilitasi investasi, walaupun secara selisih angka relatif kecil,” kata Fajar.

Menurut Fajar, ekonomi Indonesia menyimpan prospek karena jumlah penduduknya yang besar serta didukung oleh tenaga kerja yang mumpuni. Dia menambahkan, RI juga menjadi salah satu negara anggota G20 yang memiliki pertumbuhan ekonomi stabil. Saat Indonesia memegang Keketuaan Presidensi G20 tahun lalu, tak sedikit negara yang memberikan apresiasi atas kesuksesan penyelenggaraan.

Fajar mengatakan Indonesia menjadi negara yang dituju untuk investasi karena memiliki sumber daya yang melimpah terutama untuk industri manufaktur. Selain itu, Indonesia juga telah berkomitmen untuk ikut memerangi krisis iklim, dan menerapkan prinsip ESG.

Di atas itu semua, pemerintah telah memperbaiki pula iklim investasi dengan menggulirkan sejumlah kebijakan ataupun insentif. “UU Cipta Kerja ini yang termasuk memberikan kemudahan (investasi) dan memberikan peluang investasi yang lebih besar,” kata Fajar.